Menjelang Lebaran, uang cetakan baru dalam berbagai pecahan banyak beredar dan diburu masyarakat. Tapi, pernahkah Anda membayangkan bagaimana rumitnya proses mendesain mata uang baru tersebut?
Setumpuk uang kertas berserak di atas meja kaca. Bukan rupiah, melainkan mata uang dari berbagai negara. Di antaranya, dolar Singapura, ringgit Malaysia, peso Filipina, baht Thailand, hingga yuan Tiongkok. Ada pula dolar Amerika Serikat, euro Eropa, hingga franc Swiss.
“Dari segi desain maupun unsur pengaman, rupiah tidak kalah dibanding mata uang asing, lho,” ujar Hamid Ponco Wibowo, peneliti eksekutif di Biro Kebijakan Pengedaran Uang, Direktorat Pengedaran Uang Bank Indonesia.
Sebagai peneliti madya senior di BI, Ponco aktif terlibat dalam persiapan pencetakan uang baru. Ditemui di kantornya di lantai 6 Gedung C Kantor Pusat BI pekan lalu, pria yang berkarir di BI sejak 1988 tersebut membeberkan rumitnya proses penerbitan uang baru. Mulai pemilihan tema uang, gambar utama, gambar pendukung, instrumen pengaman, hingga koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk yayasan tunanetra agar uang yang dicetak bisa dikenali tunanetra.
Ponco menyebutkan, setidaknya terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan saat mendesain pecahan uang baru. Yakni, bahan uang, ukuran uang, warna uang, tema gambar, serta unsur pengaman.
Untuk bahan uang logam, BI dulu memilih bahan aluminium. Namun, bahan aluminium yang relatif lebih gampang terlihat kusam membuat BI memilih bahan lain. Karena itu, untuk pecahan baru Rp 1.000 edisi Juli 2010 yang bergambar angka 1.000 dan burung garuda di bagian muka serta gambar angklung di bagian belakang, BI mulai menggunakan nikkel plated steel sebagaimana uang logam di banyak negara lain. “Itu adalah baja yang dilapisi nikel sehingga mengkilap,” katanya.
Bagaimana dengan bahan uang kertas? Tentu saja lebih rumit. Meski bahan dasarnya kertas dari kapas cotton, sejak sebelum dicetak pun, bahan sudah harus disiapkan, termasuk dilengkapi berbagai unsur pengaman.
BI pernah mengeluarkan uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 dengan bahan plastik atau polimer. Namun, kini, di antara tujuh pecahan uang kertas, tidak ada lagi yang menggunakan bahan polimer. Alasannya, banyak di antara masyarakat yang menstaples uang.
Akibatnya, uang berbahan polimer mudah sobek. Saat dimasukkan dalam mesin penghitung, uang sering menyangkut. “Karena itu, bahan polimer tidak digunakan lagi. Kalau berbahan kertas, lubang staples bisa tertutup,” terang Ponco.
Aspek lain yang diperhatikan dalam desain uang adalah ukuran. Sebelum 2000, ukuran uang rupiah berbeda-beda, baik panjang maupun lebarnya. Namun, sejak 2000, BI mulai menerapkan standar ukuran uang. Yakni, lebar 65 milimeter atau 6,5 centimeter dan panjang bervariasi. Misalnya, pecahan Rp1.000 dengan panjang 141 mm, Rp2.000 yang dicetak pada 2009 dengan panjang 141 mm, dan Rp5.000 dengan panjang 143 mm.
Tentu saja, penentuan ukuran tersebut beralasan. “Biar pas masuk dompet. Kalau ukuran terlalu lebar, nanti kelipat saat dimasukkan dompet,” kata Ponco.
Untuk warna, lanjut dia, BI menggunakan warna-warna dasar. “Kita mengenal istilah mejikuhibiniu (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu). Warna uang menggunakan kombinasi itu,” jelasnya. Misalnya, pecahan Rp 1.000 menggunakan warna dominan biru dan hijau, Rp 2.000 dominan abu-abu, Rp 5.000 dominan hijau serta coklat, dan seterusnya.
Lalu, mengapa tidak ada warna kuning? Tampaknya, warna kuning disiapkan untuk mencetak mata uang yang lebih besar dari Rp 100.000. Jika nanti berdasar survei BI masyarakat menginginkan mata uang yang lebih besar dari Rp 100.000 untuk memudahkan transaksi, BI sudah siap. “Yang akan digunakan warna kuning,” sebutnya.
Menurut Ponco, proses paling rumit adalah saat pemilihan gambar corak uang. Dulu, gambar uang rupiah sangat beragam, mulai tema tokoh nasional, budaya, flora-fauna, hingga kelompok perajin.
Namun, sejak 2000, BI konsisten menggunakan tema tokoh nasional untuk uang kertas. Gambar pahlawan yang digunakan untuk bagian muka didukung gambar bagian belakang yang masih terkait dengan sang pahlawan.
Misalnya, pecahan Rp 1.000 bergambar Kapitan Pattimura di bagian muka dan Danau Maitara dan Tidore di bagian belakang. Pecahan Rp 2.000 bergambar Pangeran Antasari di bagian muka dan tarian Dayak di bagian belakang.
Untuk pecahan Rp 5.000, bagian muka bergambar Tuanku Imam Bondjol dan bagian belakang bergambar perajin tenun Sumatera. Kemudian, untuk pecahan Rp 20.000, bagian depan Oto Iskandar Di Nata yang kelahiran Bandung dan bagian belakang pemetik teh khas Jawa Barat.
Ponco menyatakan, pemilihan tokoh nasional yang akan digunakan sebagai gambar uang tidak asal comot. Ada banyak pertimbangan, mulai ketokohan hingga aspek pemerataan atau aspirasi dari masyarakat. Misalnya, pemilihan Oto Iskandar Di Nata berasal dari aspirasi warga Jawa Barat.
Sementara itu, gambar I Gusti Ngurah Rai dan Kapitan Patimura yang berasal dari kawasan Indonesia Tengah dan Timur dipilih untuk memenuhi aspek pemerataan. Sebab, selama ini, tokoh nasional yang menjadi gambar uang lebih banyak berasal dari Indonesia Barat, terutama Jawa dan Sumatera.
“Selain mengenalkan tokoh nasional kepada masyarakat, pemilihan gambar pahlawan dari berbagai daerah mengandung misi persatuan, bahwa Indonesia itu terbentang mulai Sabang hingga Merauke,” tegas Ponco.
Lalu, mengapa belum ada gambar tokoh nasional dari Papua? “Mmm.., itu bisa jadi masukan. Papua kan juga bagian dari Indonesia. Nanti kami diskusikan kalau hendak mencetak uang baru,” jawabnya lantas tersenyum.
Dia menyebutkan, ada banyak cerita menarik di balik pemilihan tokoh nasional yang akan digunakan sebagai gambar uang. Misalnya, saat meminta persetujuan dari ahli waris. Saat hendak menggunakan gambar Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mata uang pecahan Rp 10.000, tim BI harus menelusuri ahli warisnya, satu per satu.
Berhubung pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819) tersebut dalam sejarah disebutkan memiliki sembilan istri, tentu penelusuran sekaligus meminta persetujuan keluarga bukan hal yang gampang. “Kami bahkan harus menelusuri ahli waris beliau ke Ternate,” ungkap Ponco. Memang, pada 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap Belanda, kemudian diasingkan ke Ternate.
Meski demikian, penggunaan gambar tersebut sempat memicu masalah. BI digugat pelukis foto Sultan Mahmud Badaruddin II dengan tuduhan melanggar hak cipta karena BI tidak meminta izin kepada pelukis tersebut. Padahal, saat itu, BI mengambil gambar di database Kementerian Sosial. Beruntung, perkara tersebut bisa diselesaikan dengan baik, tanpa harus ke pengadilan.
BI pun semakin hati-hati. Karena itu, saat menggunakan gambar I Gusti Ngurah Rai untuk pecahan Rp 50.000, penelusuran ke ahli waris dilakukan sangat detail. Bahkan, gambar pahlawan asal Bali yang terkenal gagah berani saat memimpin Perang Puputan tersebut benar-benar disesuaikan dengan apa yang disampaikan ahli waris.
Menurut Ponco, sebenarnya BI berniat menggunakan gambar di database Kementerian Sosial yang banyak beredar. Namun, menurut ahli waris, gambar di uang pecahan Rp50.000 sekarang lebih cocok dengan sosok I Gusti Ngurah Rai dibanding gambar yang selama ini beredar.
“Padahal, dalam gambar yang selama ini banyak beredar, I Gusti Ngurah Rai tampak lebih gagah. Tapi, menurut ahli waris, gambar itu kurang sesuai dengan penampilan asli I Gusti Ngurah Rai. Jadi, kami akhirnya ikut apa kata ahli waris,” paparnya.
Ada pula kisah lucu saat mendesain gambar rupiah. Ponco menyebutkan, untuk uang logam pecahan Rp1.000 yang diluncurkan Wakil Presiden Boediono pada Juli 2010 tersebut, sebenarnya BI mengambil tema kesenian tradisional. Saat itu memang sedang panas-panasnya isu klaim kebudayaan oleh Malaysia. Dua kesenian yang sempat diklaim negeri jiran tersebut adalah reog Ponorogo dan alat musik angklung.
Deputi Gubernur BI Budi Rochadi menceritakan, awalnya BI berencana menggunakan gambar reog Ponorogo, namun dibatalkan dan diganti gambar angklung yang dipadu gambar Gedung Sate, Bandung.
“Ruang untuk gambar di uang koin memang sempit. Kalau (gambar reog) dikecilkan, enggak kelihatan. Tapi, kalau dibesarkan, gambar reog malah medeni (menakutkan, Red),” ceritanya lantas tertawa.
Menurut Ponco, desain pertama hendak memasukkan seluruh gambar reog Ponorogo, mulai pemain reog hingga reognya. Namun, jika ditempatkan pada uang koin, gambarnya menjadi terlalu kecil. Kemudian, kalau hanya diambil gambar reognya, juga masih terlalu kecil.
Gambar reog baru terlihat cukup jelas ketika diperbesar menjadi hanya kepala reog, tanpa bagian atas yang terdapat bulu meraknya. “Setelah diperhatikan, kalau hanya memasukkan bagian kepala, terlihat moncong dan taringnya saja, itu memang menakutkan,” ujar pria asli Kudus, Jawa Tengah, tersebut.
Aspek lain yang diperhatikan saat mendesain uang adalah pengaman untuk mencegah pemalsuan uang. Staf Biro Kebijakan Pengedaran Uang BI Diyah Dewi menyatakan, beberapa pengaman, antara lain, tanda air berupa gambar yang akan terlihat bila diterawangkan ke arah cahaya, dan benang pengaman.
Selain itu, rectoverso (perpaduan dua gambar), optical variable ink yang mengkilap dan berubah warna jika dilihat dari sudut pandang berbeda, tulisan mikro yang hanya terlihat dengan alat pembesar, invisible ink berupa cetakan kasatmata yang akan memendar di bawah sinar ultraviolet, serta latent image.
Diyah menjelaskan, ada unsur pengaman yang bisa dideteksi masyarakat umum, ada yang bisa dideteksi dengan peralatan kasir bank, dan ada juga pengaman rahasia yang hanya bisa dideteksi alat yang dimiliki BI. Total, ada 12-16 unsur pengaman yang dimasukkan dalam mata uang. Semakin besar pecahan, unsur pengamannya semakin banyak.
Diyah menambahkan, ada pula unsur blind code yang dimasukkan dalam uang. Tujuannya, uang bisa dideteksi tunanetra. Misalnya, untuk pecahan Rp 2.000, blind code berbentuk kotak segi empat di pinggir kanan gambar Pangeran Antasari. Kemudian, blind code Rp 10.000 berbentuk lingkaran, Rp 20.000 berbentuk dua kotak segi empat, Rp 50.000 berbentuk dua segi tiga terbalik, dan Rp 100.000 berbentuk dua lingkaran.
Gambar blind code dicetak agak tebal. Masyarakat non tunanetra mungkin agak sulit mendeteksinya. “Untuk menentukan gambar blind code, kami berkoordinasi dengan beberapa yayasan tunanetra. Jadi, nanti yayasan itu yang menyosialisasikan ke yayasan-yayasan tunanetra lain,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan seluruh proses desain uang kertas, tim BI memerlukan waktu sekitar 20 bulan. Dalam proses tersebut, BI bekerja sama dengan Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dan beberapa instansi lain.
(diambil dari sini)
No comments:
Post a Comment