Monday, September 13, 2010

Sejarah Singapura, Dari Kampung Nelayan Menjadi Kota Kosmopolitan

Sejarah Singapura, Dari Kampung Nelayan Menjadi Kota KosmopolitanBanyak orang terpesona dengan keindahan Singapura dan kemajuannya. Yang paling mengesankan untuk dicatat adalah bahwa negeri ini dahulu hanya merupakan kampung nelayan sederhana, dihuni oleh para penduduk asli.

Di masa kini, Singapura merupakan sebuah kota kosmopolitan yang ramai, penuh dengan bangunan pencakar langit dan taman-taman yang tertata indah. Semarak dengan paduan budaya, citarasa, seni dan arsitektur yang selaras, Singapura menjadi sebuah kota dinamis yang kaya akan kontras dan warna. Singapura mewujudkan yang terbaik dari dunia Timur dan Barat.

Berlokasi di Asia Tenggara, Singapura mempunyai area tanah sekitar 710 kilometer persegi, menjadikannya salah satu negara terkecil di dunia dan yang paling kecil di kawasan ini - yang melahirkan julukan “The Little Red Dot”.

Walaupun kecil ukurannya, Singapura memiliki eksistensi yang sangat besar di dunia masa kini, dengan perekonomian perdagangan bebas dan tenaga kerjanya yang sangat efisien. Selain itu, lokasinya yang strategis di kawasan ini memungkinkannya menjadi sebuah pusat pelabuhan di sepanjang rute utama pelayaran.

Selain memiliki infrastruktur bisnis yang kuat dan iklim ekonomi yang mendukung, faktor lain yang mempercepat pertumbuhan Singapura adalah pemerintah yang stabil dan berkompeten. Singapura adalah negara republik parlementer dengan sistem politik yang berpusat pada demokrasi. Partai yang sedang berkuasa saat ini adalah People’s Action Party (PAP), yang telah mendominasi proses politik sejak Singapura menjadi pemerintahan sendiri di tahun 1959.

Saat ini, populasi Singapura berkisar lima juta orang, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama, dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dari masing-masing etnis utama. Salah satu ciri khas Singapura adalah paduan budaya yang tampak menyatu.

Terdapat empat ras utama di sini, yaitu kaum Cina (mayoritas), Melayu, India dan Eurasia, yang bersatu sebagai satu masyarakat dan tinggal bersama secara harmonis. Setiap komunitas menawarkan sudut pandang yang berbeda tentang kehidupan di Singapura, dalam kaitannya dengan budaya, agama, makanan dan bahasa.

Tempat-tempat yang menjadi pilihan untuk berbelanja dan berpesta di Orchard Road dan di kawasan Clarke Quay atau Boat Quay, keduanya menawarkan pilihan hiburan malam yang bervariasi.

Sejarah Singapura

Sejarah awal Singapura tidak dapat ditelusuri dengan pasti dari sumber manapun, walaupun ada sebuah catatan sejarah dari bangsa Cina di abad ketiga yang menyebutnya sebagai "Pu-luo-chung", atau "pulau di ujung semenanjung ". Kemudian, kota ini disebut sebagai Temasek (Kota Laut), ketika para penduduk pertama bermukim di sini di tahun 1298-1299.

Saat abad ke 14, pulau kecil namun berlokasi strategis ini mendapatkan nama baru. Menurut legenda, Sang Nila Utama, seorang Pangeran dari Palembang (ibukota kerajaan Sriwijaya), sedang pergi berburu ketika ia melihat seekor hewan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Pangeran kemudian menganggap hal ini sebagai sebuah pertanda bagus, ia lalu mendirikan kota di tempat hewan itu terlihat, dan menamainya "Kota Singa” atau Singapura, dari bahasa Sansekerta "simha" yang berarti Singa dan "pura" yang berarti kota.

Pada saat itu, Singapura kemudian diperintah oleh lima raja Singapura kuno. Berlokasi di ujung Semenanjung Melayu dan merupakan titik pertemuan alami rute perjalanan laut, kota ini kemudian berfungsi sebagai pos perdagangan untuk berbagai kapal laut, mulai dari kapal jung Cina, kapal dagang India, kapal dhow Arab sampai kapal perang Portugis dan perahu layar Bugis.

Masa penting lain dalam sejarah Singapura adalah saat abad ke 18, ketika Singapura modern didirikan. Pada saat itu, Singapura sudah merupakan sebuah pos perdagangan yang berpotensi besar di sepanjang Selat Malaka, dan Inggris menyadari perlunya untuk memiliki pelabuhan di kawasan ini.

Selain itu, para pedagang Inggris juga memerlukan sebuah tempat strategis untuk mengisi perbekalan dan melindungi armada niaga kerajaannya yang sedang berkembang pesat, serta untuk menahan gerak maju Belanda di kawasan ini.

Letnan-Gubernur Bencoolen (sekarang Bengkulu) pada waktu itu di Sumatera, Sir Thomas Stamford Raffles mendarat di Singapura pada tanggal 29 Januari 1819, setelah menyurvei pulau-pulau di sekitar. Menyadari besarnya potensi pulau yang tertutup rawa ini, ia lalu membantu berunding dengan penguasa lokal, dan akhirnya mendirikan Singapura sebagai sebuah pos perdagangan. Tak lama, kebijakan perdagangan bebas di pulau ini menarik para pedagang dari seluruh Asia dan dari negeri-negeri jauh seperti Amerika dan Timur Tengah.

Di tahun 1832, Singapura menjadi pusat pemerintahan Pemukiman Selat Penang, Malaka dan Singapura. Dengan pembukaan terusan Suez di tahun 1869 dan penemuan telegraf dan kapal uap, nilai penting Singapura sebagai pusat perdagangan antara Timur dan Barat meningkat amat pesat. Di tahun 1860, negeri yang sedang berkembang ini memiliki populasi yang telah tumbuh dari hanya 150 penduduk di tahun 1819, menjadi 80.792 penduduk, sebagian besar terdiri dari kaum Cina, India dan Melayu. (sm/dbs)